Kamis, 31 Mei 2012

Raihan, 3m5d



Foto-foto Raihan yang lagi seneng-senengnya mainan, lonjak-lonjak di kasur. Dari posisi lurus, miring, miring, nggak beraturan deh pokoknya. Kasur di depan tivi ini juga udah berkali-kali kena ompol Raihan. Maklum, nggak pake clodi atau pampers gitu kalau lagi maen, jadi pipisnya berceceran dimana-mana (soalnya Raihan suka nendang-nendang perlaknya). Besok Bunda beliin perlak yang gedeeee buat alas bobok Raihan, hihi :D


"Uuuhh..uuhh!!" katanya sambil tendang-tendang perlak
"Bundaaa, liat! Aku udah sampe pinggiiirr!"



"Capekk..."
"Capek Buund..."

List kebutuhan bayi baru lahir (berdasarkan pengalaman)


kado dari kakak ipar


Berhubung ada request daftar kebutuhan bayi baru lahir, saya share di sini aja deh. Ini berdasarkan pengalaman pribadi lho ya. Jadi kalau berbeda dengan moms lain, ga papa ya :)

Kebutuhan pokok:
-gurita bayi 1 lusin
-popok min 2 lusin (bayi baru lahir banyak pipis)
-bedong 2 lusin jg deh (kalo udh ga dipake, bs buat alas ompol)
-alas ompol 2 lusin
-baju lengan pendek 1/2 lusin
-baju lengan panjang 1/2 lusin
-baju tanpa lengan 3 deh (jarang dipake si, kecuali lg panas bangte). Baju2 dipake tiap hari habis mandi. Kalo berkeringat atau basah, ganti. Jadi ga usah banyak2 (cepet ga muatnya)
-celana pendek 1 lusin (kalo masih bayi banget gapake celana si, tp klo udh mulai pake, udh agak gedean, butuh banyak)
-celana panjang min 1 lusin
-celana pop 2 lusin (kalo udh gede bs buat celana dalem)
-kaos dalam min 1/2 lusin
-sarung tangan min 3
-sarung kaki min 3
-topi bayi 2 bh
-selimut topi 1 bh
-perlak
-bantal (biasanya sepaket bantal guling dan bantal kepala. Saran, ga usah pake bantal peyang, karena bisa ngecap di kepala) ada juga yg sepaket dg kasurnya
Untuk bepergian:
-baju bepergian 1 atau 2 (jumper jg bisa)
-jaket
-diaper bag/tas untuk bepergian (optional. Bisa juga pake tas ibunya :D)
-gendongan bayi (kalo bisa si pake jarit aja, lebih fleksibel ketimbang gendongan jadi. Tp gw sampe skg gabisa gendong pake jarit (‾˛‾"))

Toiletries:
-handuk bayi
-waslap 2 bh
-sabun bayi
-shampoo (biasanya barengan sm sabun)
-baby oil
-minyak telon
-kapas bulet2 buat cebok si kecil
-bak mandi bayi

Untuk ibu bekerja, persiapkan juga keperluan untuk stok ASIP:
-breastpump (manual/elektrik)
-botol kaca
-cooler bag
-ice gel

Tambahan yg juga penting:
-gurita ibu
-baju kancing depan agar ibu gampang menyusui
-thermometer
-gunting kuku bayi (ukurannya lebih kecil drpd gunting kuku biasa. Ya iyaalaaahh :p)
-stroller (pertimbangan kebutuhannya yaa, jangan asal beli) Pengalaman Raihan punya stroller dr kado, tp belum dipake krn strollernya utk bayi yang udah bisa duduk
-apron menyusui. Penting untuk dipakai saat bepergian

Apa lagi yaaaa??? Hmmm...

Kayaknya yang buat awal2 itu ya. Jangan khawatir, nanti bakal banyak banget kado, termasuk baju2 bagus, tas2, selimut topi (aku beli 2, eh dpt kado ini banyak bgt), gendongan, handuk, dll. Tapi teteeep yang primer disiapkan lebih dulu yaa. Lebih baik punya daripada nanti pusing nyari2. Kalaupun dapet banyak kado, kado2nya bisa disimpen buat ngado lagi tuuuhh.. Ups! :p

Yups! Segini aja
Buat ibu2, mungkin ada tambahan lain?
Buat para calon ibu, semoga bermanfaat ;)

Kisah Kelahiran Raihan (finished)

Bukaan 8? Aku dan suami berpandang-pandangan.
"Mmm..bukaan 8, Yah.."
"Iya, bentar lagi"
"Kalo gitu nggak jadi sesar deh.."
"Iya, nggak usah aja Nda.."
"Nggak jadi ya Yah?" tanyaku memantapkan diri
"Iya.."
Kamipun memutuskan untuk membatalkan operasi.

Detik demi detik, menit demi menit, aku masih harus menahan sakit sampai bukaan lengkap. Dorongan untuk mengejan datang berkali-kali. Tapi selalu dilarang Bidan. Nanti, kalau sudah lengkap baru boleh, begitu katanya. Sampai akhirnya...

"Bukaannya udah lengkap Mbak, sekarang boleh mengejan.."
Saat itu pukul 3 sore

Suamiku diposisikan untuk berada di belakang kepalaku. Kedua tangannya menyangga kepalaku.
"Nanti, kalau mbaknya mengejan, Bapak angkat kepala mbaknya ya?" Dia mengiyakan.

"Heemmmpphh!!"
Aku memulainya. Tapi belum apa-apa, "Jangan seperti itu mbak, salah!"
"Heemmph!"
"Mengejannya nggak bersuara mbak"
"Matanya jangan ditutup"
"Jangan teriak mbak"
"Pantatnya jangan diangkat"
"Salah mbak, bukan seperti itu"
"Kayak orang mau buang air besar itu lho mbak"
"Ayo mbaaak, teruuss, jangan putus-putus"

Berkali-kali gaya mengejanku salah. Bukan seperti ini, tidak boleh seperti itu.
Dua orang bidan senior yang membantu persalinan menarik napas panjang. Sepertinya susah sekali membimbingku. Aku tidak mengikuti instruksi. Mengejan semauku. Padahal seharusnya saat dorongan terbesar datang, saat itulah aku seharusnya mengejan. Tapi, dorongan itu anehnya tidak datang lagi seperti saat bukaan belum lengkap.

Aku terus-menerus mengejan, kedua bidan terus-menerus membenarkan kesalahanku, sementara suamiku tak henti memberikan semangat. Saat mengejanku sudah benar, napasku habis, aku terengah-engah.

"Ayo mbaaakk, lanjuut!"
Aku tidak sanggup. Napasku pendek-pendek. Bayiku keluar masuk di jalan lahir.

Semakin lama, bidan dan perawat yang mengelilingi kami semakin banyak, mungkin sekitar tujuh sampai sepuluh orang. Saat itu sedang pergantian shift. Mereka ikut gemas melihatku.

"Mbak, ini kalau sampai jam 4 (sore) nggak lahir juga, kita vacum ya?" kata Bidan senior.
Aku hanya mengangguk.

"Ayo Nda, Nda pasti bisa. Ngedennya yang semangat. Jangan sampai dedek divacum.." kata suamiku terus menyemangati.

Lama kelamaan tenagaku habis, dan aku mulai mengantuk.
"Aku ngantuk.." kataku
"Jangan mbak, kasian dedeknya.." kata para bidan.
"Ayo lagi mbak"

Sekali, dua kali, akhirnya.. "Kita vacum aja ya mbak? Kasian dedeknya kelamaan.."
Lagi-lagi, aku dan suamiku menandatangani surat pernyataan, seperti sebelumnya saat aku mengatakan ingin dioperasi. Alat-alat pun disiapkan. Saat itu dokter masuk, mengecek kondisiku.
"Wah, ini harusnya bisa nih, nggak usah divacum.." katanya
"Ayo mbak, coba lagi terus"
Aku saat itu berada di sisa-sisa tenagaku. Kantuk terus menyerang. Saat istirahat dari mengejan, aku sempat tertidur beberapa kali. Sampai akhirnya..

Aku mengejan entah untuk yang keberapa puluh kali. Kukerahkan seluruh tenagaku.
"Kepalanya keluar Nda, ayo teruss.." terdengar suara suamiku.
"Ayo mbaak, teruuuss!!!" suara bidan-bidan yang berkerumun. Kemudian, bidan paling senior yg membantuku sedari awal memasukkan tangannya ke jalan lahir. Dia terlihat menarik sesuatu. Dan sebelum aku sempat menyadarinya, sesosok makhluk keluar dari sana, diangkat oleh sang bidan. Warnanya abu-abu, berselimut lendir, dan terlihat menggelepar-gelepar, suaranya 'khhkhhkkkhhh"

Kata suamiku, bidan terlihat mengeluarkan sesuatu dari tenggorokannya, sebelum suaranya yang tersendat-sendat lemah menjadi nyaring dan membahana.

"Eaaakkk...eaaaakkk...eaaaakkk!!!!!"

Anakku telah lahir ke dunia. 25 Februari 2012, Sabtu sore, pukul 4 kurang 4 menit.


***
Raihan sedang belajar tengkurap

Hari ini, 3 bulan 4 hari setelah kelahirannya. Dia sedang tertidur pulas setelah minum susu. Tubuhnya jauh lebih besar dibandingkan saat pertama kali aku melihatnya. Kulitnya sudah bersih, dan kepalanya tidak sepanjang dulu. Sekarang, aku sudah lupa semua sakit dan kesusahan saat melahirkannya. Pun lupa bagaimana aku bisa begitu sengsara di hari-hari pertama setelah kelahirannya. Dan aku hanya tertawa, setiap kali ingat ucapanku tak berapa lama setelah kelahirannya: "Aku kapok melahirkan!" Hahahaa.. Aku bertekad akan memberinya 2 orang adik! Tunggu saja. Hahahaa...

Kisah Kelahiran Raihan (part II)

Setiap entah beberapa menit sekali (mungkin setengah jam), datang seorang bidan mengecek detak jantung bayi. Kadang bidan senior yang datang, kadang mungkin asisten bidan. Bisa dilihat dari wajahnya yang masih imut-imut *apadeh, nggak penting :p Setiap kali doppler (alat pendengar detak jantung bayi) ditempelkan ke perut, jantungku rasanya ikut berdetak kencang. Apalagi kalau bidan susah menemukan detak jantung si kecil, sehingga alat itu digeser-geser kesana kemari.

13.-- (jam 1 siang)
Aku semakin kesakitan. Tak tahan. Masya Allah, rasanya di perut bagian bawah teramat sakit. Kubilang ke suamiku,"Rasanya kayak mau mati" Entah apa gerangan yang mendorongku berkata seperti itu. Diantara rasa sakit aku sudah tidak peduli apa yang aku katakan, tidak peduli sekitar. Aku hanya fokus pada sakitku. Dia hanya menenangkan sambil memelukku.

Beberapa orang masuk ke ruangan. Entahlah, sepertinya Ibuku, Bapak mungkin, Bulik, dan entah siapa lagi. Mereka datang lalu pergi. Belakangan Ibu bilang kalau dia tidak tega melihatku. Katanya, wajahku sudah pucat pasi. Bibirku putih. Keringat dingin mengaliri wajahku.

Kami bertanya ke bidan yang datang dan pergi. Sudah bukaan berapa? Setelah dicek, baru bukaan 2 katanya. Masih berapa lama lagi? Masing-masing bukaan, butuh waktu 1 jam. Jadi, untuk sampai ke bukaan lengkap, normalnya butuh waktu 8 jam.

Aku meringis ke suamiku. Satu menit, dua menit, tiga menit. Kubilang, aku tak tahan lagi. Tolong, aku mau caesar saja. Dia memandang penuh harap,
"Normal aja ya?"
"Udah nggak tahaan.. Mau caesar ajaaa," kataku
"Kita coba normal ya?" dia masih berusaha meyakinkanku
"Enggak. Sakit banget..."
Suamiku tak tega melihatku. Akhirnya, dia pun menyerah
"Beneran caesar?"
"Iya.."Jawabku
"Kalau gitu Ayah bilang Ibu (Ibuku.red) dulu ya.."
"Jangan lama-lama Yah" kataku

*belakangan, Ibu cerita, saat memberitahu aku mau dicaesar, suamiku menahan tangis. Setelah diberitahu, ibu juga lemas rasanya. Beliau hanya sholat, berdoa, berdoa, dan mengaji di dalam kamar. Sepanjang siang itu, sampai bayiku lahir.

Suami kembali menemaniku di dalam kamar. Surat persetujuan untuk operasi disodorkan. Aku dan suamiku menandatanganinya. Tetapi kami masih harus menunggu lantaran dokternya sedang ada di tempat lain. Sementara itu, kamar operasi pun dibereskan.
"Dokternya masih lama mbak?" tanyaku tak sabar
"Udah dikasih tau, mungkin sekitar setengah jam lagi"
Berkali-kali sepertinya aku menanyakan hal yang sama: dokternya sudah ada? begitu berulang-ulang.

Beberapa saat kemudian, saat aku dan suamiku menunggu dokter, aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk mengejan. Tekanan di perut, rasa sakit memuncak, membuat keinginan untuk segera mengeluarkan si dedek semakin kencang.

"Mbaaaakkk..!!! Pengen ngedeeenn!!" teriakku.
"Jangan. Nggak boleh dulu mbak.."
"Tapi pengen ngeden mbaaak.."
"Coba dicek dulu ya, bukaannya"
Bidan pun mengecek bukaan.
"Waah, ini sudah bukaan 7 ke 8 nih!"


_to be continued_

Kisah Kelahiran Raihan (part I)

Mengisi kembali halaman kosong di blog yang mulai berdebu ini. Karena kesibukan baru menjadi new Mom, jadi belum sempat menulis-menulis lagi. Beberapa tulisan ke depan sudah diposting di multiply, hanya copy-paste saja ke blogspot.



Catatan ini dibuat untuk mengenang proses kelahiran Raihan. Sebagai pengingat perjuangan hari itu, saat aku mengantarkan jagoan kecilku melihat dunia. Semoga, suatu hari nanti, Raihan juga bisa membacanya, sehingga dia tau bagaimana perjuangan ayah bunda dan cinta kami kepadanya. Happy reading :)

Kamis, 23 Februari 2011

Suami berangkat dari Jakarta. Pulang ke Purbalingga setelah 2 minggu sebelumnya mengantarku pulang kampung menjalani masa cuti. Sebenarnya rencana awal mau berangkat Jumat malam, tapi keburu kehabisan tiket kereta. Jadi dia mengambil cuti sehari di hari Jumat dan meluncur ke stasiun Kamis malam sepulang dari kantor.

Jumat, 24 Februari 2011


Sekitar jam 3 dinihari, suami sampai di rumah. Setelah itu, dia beristirahat sampai pagi. Pagi sampai siang hari, kami tidak kemana-mana. Padahal biasanya, setiap pulang kampung kami pantang melewatkan waktu berdiam di rumah. Sayang sekali.

16.30
Aku dan suami baru keluar jalan-jalan. Sebentar saja, hanya putar-putar kota dan membeli mi ayam. Sebelum maghrib, kami sudah sampai kembali di rumah. Sore itu sebenarnya kami juga berencana untuk membeli keperluan dedek yang belum lengkap, seperti bak mandi bayi, alas ompol yang dirasa masih kurang, dll. Tapi karena berangkat terlalu sore, kami berencana untuk berbelanja keesokan harinya saja.

Setelah makan mi ayam, aku merasa tidak enak perut. Sendawa terus menerus rasa mi ayam. Yaiks!! Pengen muntah. Sepanjang sore itu aku terus bilang kalau aku keracunan mi ayam, heheh

Menjelang malam, setelah berbincang-bincang lumayan lama dengan bapak, ibu, om (yang kadang2 suka nginep di rumah sepulang kerja), aku dan suami pun beranjak tidur.

Sabtu, 25 Februari 2012

00.30
Dini hari itu aku terbangun. Kebelet pipis. Tapi malas beranjak dari tempat tidur. Masih dalam posisi tiduran, kuputuskan untuk menahan pipis saja, biar besok pagi saja. Tapi tiba-tiba aku seperti merasa ada yang keluar. Yaahh, ga bisa ditunda lagi pipisnya. Akupun beranjak ke kamar mandi.

Selesai pipis, saat hendak ke ruang tengah, aku merasa ada cairan yang keluar lagi. Kupikir, pipisnya belum tuntas. Akupun kembali ke kamar mandi. Tapi di sana, aku terkejut saat mendapati ternyata cairan itu keluar dengan sendirinya. Mengalir lumayan banyak. Pecah ketuban! Sambil menenangkan diri aku mengetuk-ngetuk pintu kamar ibu. Saat ibu akhirnya membuka pintu, kubilang kalau ketuban sudah pecah. Saatnya ke rumah sakit. Sementara itu, cairan putih bening itu masih mengalir membasahi lantai keramik di bawah. Aku segera ke kamar, membangunkan suami yang segera bangkit dengan kaget. Setelah itu, aku ganti pakaian, sementara cairan itu masih terus mengalir.

Saat itu kami belum mempersiapkan apapun. Kupikir, masih lama perkiraan lahir si dedek, jadi kami belum perlu mempersiapkan keperluan untuk dibawa ke rumah sakit sewaktu-waktu. Ibu malam itu yang menyiapkan segala sesuatunya. Menyiapkan beberapa potong bajuku, baju, popok, perlak, dll bakal keperluan si kecil yang sudah dicuci dan tertata rapi di lemari. Suami memasukkan beberapa potong bajunya ke dalam tas gendongnya. Tak lama kemudian, aku, ibu, dan suami pun segera meluncur ke rumah sakit. Bapak tinggal di rumah. Sementara Om masih tidur. Tidak tahu sama sekali kalau kami keluar.

01.00
Kami sampai di RSIA yang sudah ditetapkan menjadi bakal calon tempat bersalin. Setelah diperiksa bidan segala macam, diputuskan bahwa aku harus menginap. Ketuban sudah merembes, pembukaan masih pembukaan satu tapi sempit, jadi akan dilihat perkembangan sampai keesokan harinya. Dini hari itu, aku diinfus antibiotik untuk menjaga agar ketuban tetap baik-baik saja sampai waktunya nanti diambil tindakan.

09.00
Aku dibawa ke ruang bersalin. Akan segera diambil tindakan pagi itu. Induksi. Saat itu, aku masih tenang, tidak terpikir apa-apa mengenai persalinan. kontraksipun tidak ada. Dalam pikiranku hanya satu, akhirnya, saatnya akan tiba juga. Saat aku akan bertemu dengan buah hati yang selama sembilan bulan menghuni rahimku.

Sementara itu, sebelumnya Ibu sudah dijemput Bapak selepas subuh. Mereka masih harus ngajar. Jadi saat aku dibawa ke ruang bersalin, hanya suami saja yang menemani.

Melalui selang infus, cairan induksi itu masuk sedikit demi sedikit ke dalam tubuh. Aku dan suami berbincang-bincang terus. Belum ada rasa apa-apa. Bidan berpesan, kalau kebelet pipis atau apapun, panggil saja mereka. Nanti saya akan diajari pipis di pispot. Pipis di pispot?? Oohh, tidak! Kedengarannya menjijikkan. Tapi akhirnya aku pipis juga beberapa kali di ruangan itu. Bahkan, sampai di akhir-akhir, tidak hanya pipis, pup juga keluar, hiiyy. Ah, saat itu sudah tidak terpikirkan lagi apa yang keluar dari tubuh. Hehe

Menjelang siang, aku mulai merasakan nyeri, tekanan, rasa sakit di perut bagian bawah. Awalnya biasa saja, tapi semakin lama semakin tekanan itu semakin kencang, semakin sakit, semakin sering, dan semakin lama bertahan. Dari yang awalnya kalimat-kalimat yang keluar adalah: Subhanallah, Masya Allah, Astaghfirullah, Allahu Akbar. Dari yang sebelumnya aku bisa membaca doa "Laa ilaaha illa anta, subhanaka inni kuntu minadz dzolimiin" (doa nabi Yunus saat di perut paus). Sampai akhirnya hanya bisa merintih-rintih, bahkan akhirnya berteriak-teriak. Sungguh sebenarnya aku tidak ingin berteriak-teriak. Sejak awal mempersiapkan diri menghadapi persalinan, aku sudah bertekad tidak berteriak-teriak. Tapi ah, rasa sakit itu semakin menyiksa. Tiada henti. Semua teori tentang teknik pernapasan untuk mengurangi nyeri menguap entah kemana.

Suami di samping terus memberi semangat dan dorongan. Dia nyaris tidak beranjak dari tempat itu. Dia yang memeluk, menguatkan, mencium, menenangkan. Sebaliknya, setiap dipeluk, aku balik memeluknya dg sangat kencang. Tanpa sadar mencakari punggungnya. Selesai persalinan, dia menujukkan punggungnya, dan ya ampun, disana ada bekas cakaran. Seperti orang kerokan!

_to be continued_

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...