Rabu, 27 Oktober 2010

Antara Blogspot dan Multiply

Padahal saya sudah berniat dengan sungguh-sungguh kalau saya akan merawat blog ini dengan sebaik-baiknya. Tapi sampai sekarang, saya masih suka menulis semua-mua di multiply. Jadi, 2 entry terbaru di sini adalah hasil import dari rumah sebelah..

Yah...memang agak keteteran mengurus kedua-duanya *kayak apa aja -_-"
Untuk sementara waktu, seperti ini rasanya cukup :)

Test Pack!

Sebelum menikah, saya sempat berpikir untuk sedikit menunda mempunyai anak. Entahlah, tidak jelas kenapa saya kepingin seperti itu. Yang ada di pikiran saya, saya ingin bersenang-senang. Puas-puasin jalan-jalan, belanja-belanja, heboh-hebohan dulu..heheh *blushing* Saya ingin bebas, paling tidak sampai awal tahun depan. Biar saya bisa 'senang-senang' sampai akhir tahun, juga biar tidak terlalu lama saya ditinggal pulang malam oleh suami. Paling tidak, kalau pertengahan tahun depan suami sudah menyelesaikan kuliahnya *aamiin*, saya bisa ditemani di setengah terakhir perjalanan kehamilan *beuuh, bahasanya!!!


Tapi, seiring berjalannya waktu yang baru beberapa minggu, ternyata keinginan saya berubaahh. Saya ingin punya anak!!! Pasti ini provokasi dari dia yang dari awal tidak menyetujui keinginan saya.


Dan saya rupanya tidak sabar *betapa sungguh manusia cepat sekali berubah keinginan. Kalau badan rasa tidak enak sedikit, wahh..jangan-jangan tanda-tanda nih. Kalau perut rasa mual sedikit *padahal aslinya perut saya sering mual*, waah, jangan-jangaaann…. Daaan sebagainya.


Jadi, karena sangat penasaran, suatu hari saya ingin tes kehamilan. Sebenarnya dalam hati sangat terpikir: baru juga berapa minggu, masa iya sih? Tapi, daripada saya mati berdiri saking penasarannya, saya putuskan untuk membeli test pack.


Sepanjang siang itu, saya sudah meyakinkan diri sendiri kalau saya masih muda dan imut *silakan buat yang ingin muntah*. Dan saya malu kalau harus membeli ‘barang itu’ di apotek. Apa kata mbak-mbak pelayannya nanti?? Saya bahkan sudah menyusun jawaban di kepala kalau nanti ditanya oleh mbak-mbak di sana:

“Buat siapa ini mbak??”

saya akan menjawab:

“Buat kakak saya”

atau

“Oooh…saya dititipin”

atau

“Temen mbak…”


-_______-“




Tapi toh akhirnya saya menyempatkan diri juga sepulang aktivitas sore itu berbelok ke apotik.

Sedari pintu masuk, mbak-mbak ramah sudah menawarkan diri untuk membantu. Tapi saya pasang senyum manis saja dan menolak halus. Muter-muterin apotik, tapi nggak nemu yang dicari saking groginya. Akhirnya, saya beranikan juga tanya sama mbaknya: “Mbak, test pack di sebelah mana ya?” *tanya sambil menenangkan diri*

Dan ditunjukkanlah saya ke deretan di bagian tengah apotik yang memang belum sempat saya lihat. Setelah itu, dikasih pilihan sama si mbak. Mau yang tetes, atau yang celup *emangnya teh?? -_-“

Dan saya pun bertanya ini itu, dan si mbak pun menjawab ini itu.

Singkat kata, tidak ada pertanyaan: “Buat siapa mbak?” hahaha *ketawa dongdong

Singkat cerita lagi, saya tidak kenapa-kenapa kok, saudara-saudara. Bahkan tu test pack tidak berfungsi sebagaimana mestinya *mungkin saya yang nggak tau cara pengetest-annya :p



Dan sekarang, hanya bisa berdoa, semoga suatu hari nanti, entah kapan pun itu, saya diberikan kesempatan untuk menjalankan tugas mulia sebagai Ibu. Juga untuk saudari-saudariku. Yang belum menikah, yang akan segera menikah, yang telah menikah, semoga kita dipercaya mengasuh titipanNya nanti… dan membawanya menjadi anak yang soleh dan solehah. Sekarang, saatnya berbenah diri. Memperbaiki diri, dan terus belajar. Biar nanti, bisa jadi orangtua yang baik untuk anak-anak kita. Setuju? ^_^



GREAT decision, GREAT thinking


Hal pertama yang sangat ingin saya lakukan di kantor pagi ini adalah menulis. Oleh karena itu, setiba di meja, dan setelah menyelesaikan sisa pekerjaan kemarin sore-sementara orang-orang baru mulai berdatangan ke kantor-saya segera duduk manis di depan komputer.

Berawal dari pertanyaan suami tadi malam: “Kita, sampai kapan ya tinggal di Jakarta?”

Saya hanya menoleh dan menampilkan wajah ingin tau. Dia kembali berbicara, Kamu nggak bisa pindah ya?”

“Bisa. Tapi, nggak tau deh,” kata saya penuh ketidakyakinan. “Mungkin, sepuluh tahun lagi?” saya berkata lagi sambil menoleh ke arahnya.

“Bosen. Jakarta macet banget,” katanya sambil menghembuskan napas. Dan perbincangan kami mengenai Jakarta pun berakhir.

Ternyata, tadi pagi sebelum berangkat ke kantor, suami saya melanjutkan pembicaraan mengenai hal itu lagi.

“ Kemarin itu, dapat tawaran buat pindah ke Semarang,” katanya.
“ Oooh… terus?” tanya saya.
“ Sebenernya, kalau di swasta, tawaran pindah ke daerah itu kesempatan emas.”
Suami saya memang bukan PNS. Dia pegawai salah satu bank swasta dan bekerja di kantor pusat.
“ Itu kesempatan untuk masuk ke level manajerial.”
Dulu, sebelum menikah, suami saya pernah mendapat tawaran untuk pindah ke Bogor. Tapi dia menolaknya karena rencana pernikahan itu. Dan kemarin, dia mendapat tawaran lagi. Pindah ke Semarang. Saya hanya diam. Sungguhpun, saya tidak berniat menghalang-halangi kalau dia ingin mengejar karirnya.

“ Tapi ini yang terbaik dari Allah ya?” katanya. “Lagian, aku kan masih kuliah. Sayang, masak ditinggal begitu aja. Trus, kalau kamu nanti ditinggal, bisa-bisa nangis terus.” Saya hanya memonyongkan bibir.

“ Mungkin, nanti bisa dipertimbangkan lagi ya, kalau udah selesai kuliahnya?” katanya lagi.

“ Iya,” jawab saya sambil tersenyum.

Suami saya, insya Allah, kalau lancar dan tidak ada halangan, lulus pertengahan tahun depan. Mau tidak mau, saya berpikir. Andai dia memang berniat pindah, lantas apa yang akan saya lakukan?

Pertama, saya bisa keluar (???) dari PNS-yang mungkin baru saja saya dapatkan SKnya pada saat itu-dan mengikutinya pindah. Mungkin saya bisa melanjutkan kuliah saya sementara dia bekerja. Lalu setelah lulus, saya bisa melamar pekerjaan lagi di suatu tempat entah dimana. Tapi, hei? Tidakkah saya sayang? Saya keluar dari pekerjaan  ini begitu saja, sementara beribu-ribu orang berlomba-lomba mendapatkan apa yang saya dapat sekarang?

Atau, yang kedua, saya tetap tinggal di Jakarta, sementara suami tinggal di daerah. Long Distance Marriage?? Saya miris membayangkannya. Ditinggal pergi ke Jogja (mulai hari ini) selama lima hari saja membuat saya hampir mewek tadi pagi (lebay yah??). Apalagi hubungan jarak jauh?

Opsi yang ketiga adalah pindah instansi. Dan ini yang paling menenangkan di antara semua pilihan sebelumnya. Tapi, bisakah? Dan kalaupun bisa, tidakkah memakan waktu yang lama dengan prosedur yang berbelit-belit??

Dan entah kenapa, walaupun itu hanya perbincangan sekilas sebelum memulai aktivitas, saya terus-menerus memikirkannya. Bagaimana kalau benar-benar pindah? Pasti akan jadi hal yang sangat mengharukan kalau tiba saatnya saya berpisah dengan teman-teman kantor. Ah, saya benci perpisahan. Apalagi saya mulai mencintai tempat ini.

Setidaknya, saya masih punya cukup waktu untuk memikirkannya lagi. Dan semoga, kalau saat itu benar-benar datang, saya bisa memberikan keputusan terbaik.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...