Selasa, 28 Mei 2013

Prompt #14: Laki-laki dari Desa Bersalju

Aku melihat pemandangan dari dalam bus yang terus melaju. Sudah lima jam sejak bus ini meninggalkan Tokyo, menuju Shirakawa-go.  Sebaris cahaya muncul ketika bus keluar dari terowongan. Perjalanan ini mulai melewati terowongan. Ini artinya aku sudah dekat. Berdasarkan buku panduan yang kubaca, perjalanan ke Shirakawa-go memang akan melewati banyak terowongan. Ini karena akses jalan menuju ke sana dibuat dengan cara membobol pegunungan. Ya, Shirakawa-go adalah desa yang terletak di antara pegunungan.

Kueratkan syal yang melingkar di leherku. Dingin. Lebih dingin dari yang kukira. Tubuhku belum cukup beradaptasi dengan salju rupanya. Wajar saja, baru dua hari yang lalu aku sampai di Tokyo. Baru dua hari yang lalu aku menyentuh salju pertamaku. Aku merutuki kenekatakanku ini. Kalau bukan gara-gara laki-laki itu aku pasti tidak akan pernah menginjakkan kaki di Jepang.

Aku mendesah. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan laki-laki itu. Laki-laki yang selama ini hanya hadir di mimpiku. Laki-laki yang telah menyita seluruh kebahagiaan dari wajah ibu.


Desa Ogimachi, Shirakawa-go.

Aku menjatuhkan ransel di depan sebuah penginapan bergaya tradisional. Penginapan ini sudah kubooking dengan bantuan petugas hotel di Tokyo kemarin lusa. Kupastikan aku tidak salah tempat. Kucocokkan ulang huruf yang dituliskan petugas hotel di atas kertas kemarin dengan papan nama di depan bangunan itu.

“Irasshaimasee!!” Seorang gadis muda menyambutku saat aku masuk ke dalam tempat itu. Aku gugup.

”Haii.. Eh.. Watashi wa, Dian from Indonesia. I… have booked a room..” Aku ragu gadis itu mengerti yang kumaksud.

“Ohh.. Please welcome! Sudah pesan kamar? Baiklah. Tunggu sebentar,” dia tersenyum manis. Aku lega. Ternyata dia bisa berbahasa Inggris. Ada yang bisa dimintai tolong di sini.

***

“Jadi Dian-san, datang kesini karena ingin mencari laki-laki itu?”

Sore hari berikutnya. Aku sedang mengobrol dengan Yuki, putri pemilik penginapan yang baru kuketahui namanya tadi pagi ketika akan sarapan.

Aku mengangguk.

”Kenapa Dian mau mencarinya? Bukankah dia sudah jahat pada keluarga kalian?” dia berkata pelan.

”Aku hanya ingin melihat langsung ayahku, Yuki-chan. Bagaimanapun, karena dialah aku dan adikku bisa melihat dunia,” aku tersenyum getir.  

”Hmm... Boleh..aku tau nama ayahmu? Biar aku bantu cari..”

Kuambil secarik foto usang dari dalam dompetku. Gambar ayah dan ibuku. Tampak sekali perbedaannya. Ayah, bermata sipit berkulit putih. Sedangkan ibu berkulit sawo matang bermata besar.

”Namanya ada di balik foto itu. Ditulis dalam huruf Jepang, tapi aku sudah hapal di luar kepala.”

Yuki terperanjat melihat foto itu, lalu segera menyeret tanganku masuk ke dalam penginapan. Melewati koridor utama, lalu berbelok di salah satu sudut. Dia membuka pintu dan menyuruhku masuk.

Mataku segera tertumbuk pada sebuah foto berpigura yang dipasang di dinding. Wajahnya tampak lebih tua, tapi aku yakin orang itu adalah orang yang sama dengan orang di foto ayah dan ibu.

“Dian-san mencari dia?” Yuki terisak. ”Laki-laki ini yang dicari kan?”

Aku tertegun.

”Dia baru saja meninggal seminggu yang lalu. Otousan baru saja meninggal seminggu yang lalu” Gadis itu kini benar-benar menangis.

Aku terjatuh di depan pigura itu.  

***

474 kata

keterangan:
Irasshaimase : selamat datang
Watashi wa, Dian from Indonesia. I have booked a room: Saya Dian, dari Indonesia. Saya sudah pesan kamar
Otousan: ayah




Rabu, 15 Mei 2013

Quiz Monday Flash Fiction #3: Perjuangan Baru


”Mas, kita ngontrak rumah dekat kantor Ayu yuk? Ayu nggak tahan nih kalau tiap hari  pulang kena macet. Tiga jam baru nyampe rumah.”

”Hmm... kita liat aja nanti..”



Aku tercenung di balik jendela bis patas AC, mengingat kembali percakapan semalam dengan suamiku. Jalanan di luar macet. Ditambah hujan rintik-rintik, pasti malam ini akan lebih macet dari biasanya. Aku menghela napas. Beginilah perjuangan punya rumah jauh dari pusat kota.

Aku dan suamiku sudah setahun menghuni rumah kami, dan selama ini tidak ada masalah berarti. Perjalanan berangkat dan pulang kantor selalu menghadapi kemacetan, dan kami berdua tidak pernah mengeluh.

Tapi...untuk saat ini....

Aku mengeluarkan sesuatu dari dalam dalam tas. Benda andalan yang sudah seminggu ini selalu kubawa kemana-mana. Kupegang erat-erat sambil menahan gejolak rasa yang hampir meledak.

Sudah masuk tol. Masih macet. Mungkin satu jam lagi baru sampai. Aku semakin resah. Kusandarkan badanku ke bangku, mencoba tidur, tapi tak bisa. Kusandarkan kepalaku ke bangku di depanku.

”Kenapa Mbak?” Ibu di bangku sebelah bertanya simpati.

”Lagi sakit?”

Kubuka mulutku hendak menjawab. Lalu tiba-tiba...

”HOEEKK!!!”

Aku muntah di dalam kantong kresek yang sudah kupegang sedari tadi.

”Aduh... Maaf ya Bu, saya sedang hamil muda. Mual-mual terus…”

“HOEKK!!” Aku muntah lagi.


*196 kata



***

Maaf, ceritanya lagi curcol nih. Selama ini selalu nggak masalah tiap hari menempuh perjalanan Jakarta-Cibubur. Tapi semenjak muncul dua garis merah di testpack dua minggu yang lalu, mulai deh mual-muntah. Dan tiap hari harus menempuh kemacetan di jam pulang kantor sambil menahan mual, rasanya perjuangan banget. Mwehehehehee....



Jumat, 10 Mei 2013

Prompt #12: Konde



Kubuka pintu kamar kos-kosan, lalu segera menghambur ke tempat tidur paling nyaman di dunia. Huufh... Hari yang melelahkan! Kuliah nyaris tanpa henti dari pagi sampai sore ini. Kuraih bantal kesayanganku dan bersiap untuk tidur. Aku terkejut saat aku secara tak sengaja menyenggol sesuatu yang besar dan menyembul. 

Astaga! Konde? Tapi, siapa yang pakai konde di rumah ini?

Segera kuingat Mayang, sahabatku di kamar sebelah yang menjadi penari. Hmm.. mungkin saja ini konde miliknya.

Tiba-tiba saja rasa lelahku menguap. Aku duduk sambil memegangi konde itu. Pikiranku tertuju pada Mayang. Ah, anak yang satu itu memang keren. Di sela-sela kegiatan kuliahnya dia masih sempat menari tradisional. Hobi sedari kecil katanya, dan sekarang sudah menghasilkan uang. Ya, Mayang hampir menjadi penari profesional. Hampir setiap akhir pekan dia kebanjiran job. Tapi aku hanya pernah menonton pertunjukannya sekali, saat dia tampil menjadi pengisi acara di pentas seni kampus. Tariannya memukau, gerak tubuhnya membius. Seperti bukan Mayang yang aslinya kalem dan pendiam.

Tiba-tiba aku penasaran ingin mencoba konde di tanganku.

***

Mayang terburu-buru membuka gerbang rumah kosnya. Dia melupakan sesuatu yang paling penting: konde! Nyaris saja dia pergi tanpa konde. Nyaris saja. Padahal besok pagi pertunjukan pertamanya di luar kota. Dia merutuki diri sendiri.

Mayang hendak membuka pintu kamar saat didengarnya teriakan-teriakan dari ruang makan. Terdengar lamat-lamat suara tembang Jawa mendayu-dayu.

Segera dia berlari menuju arah suara itu. Ibu kos dan beberapa anak kos sedang berteriak-teriak histeris.

“Sitaaa!! Ya ampunnn.. Kenapa??”

“Turun Siiiiitt! Turuunn!!”

PRANG!!!! 

Piring-piring berjatuhan dari atas meja makan. Mayang segera menghambur ke sudut, tempat ibu kos dan teman-temannya berkerumun. Sita, teman kamar sebelahnya sedang menari Jawa di atas meja makan sambil nembang. Tangannya gemulai ke kanan dan kiri. Konde milik Mayang terpasang janggal di atas kepalanya.

Mayang menggigil. Dia harus segera melepas konde keramat itu dari Sita. Kalau tidak, dia tak bisa menari esok pagi. 

Rabu, 01 Mei 2013

Prompt #11: Nota (2)


"Abang mau minum apa?"

“Cucu!”

Aku tergelak mendengar jawaban itu. Duuh, anak ini menggemaskan sekali. Siapa yang bisa tak jatuh cinta padanya? Kukeluarkan botol susu dari dalam diaper bag, lalu kuserahkan pada bocah tiga tahun di hadapanku. Dia langsung meminumnya dengan terburu-buru.

“Hahaha.. Minumnya pelan-pelan, Bang!” aku mengusap kepalanya.

Di depan kami, ayah bocah itu sedang sibuk menekuni laptop. Aku mengerutkan kening. Weekend begini masih saja disibukkan dengan urusan kantor. Memangnya tidak capek terus-menerus bekerja?

Seorang pelayan mendatangi meja kami sambil membawa dua gelas jus.

”Terimakasih,” kataku sambil tersenyum.

Pukul dua lewat. Sebentar lagi kereta yang kami tunggu datang. Aku gelisah. Rasa-rasanya tak ingin segera menyudahi kebersamaan seperti ini.

***


”Semuanya tiga puluh enam ribu, Bu,” kata pelayan di meja kasir. Aku mengangsurkan sehelai uang lima puluh ribuan. Huuff...mahal sekali! Hanya untuk dua gelas jus saja habis tiga puluh enam ribu. Kuterima nota dan uang kembalian dari pelayan itu, lantas kumasukkan ke dalam kantong bajuku. Untuk kenang-kenangan. Aku tersenyum.

***

Wanita itu muncul dari balik anak tangga stasiun, disambut senyum lebar sang bocah.

”Mamaaaaa!!”

”Abang, sini Nak. Aduuhh, Mama kangen banget sama Abang!” Segera, anak kecil itu lekat dalam gendongan mamanya.

“Papa sehat Pa? Seminggu ini nggak ada apa-apa kan?” Laki-laki di sebelahku tersenyum lebar, segera merangkul pinggang isterinya.

”Mbak, minta tolong bawain tas ini ya. Sama tas oleh-oleh itu. Yuk kita langsung pulang aja Pa, Mama capek.” Keluarga kecil bahagia itu melangkah menuju pintu keluar. Aku mengikuti mereka dari belakang. 



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...