Setiap entah beberapa menit sekali (mungkin setengah jam), datang
seorang bidan mengecek detak jantung bayi. Kadang bidan senior yang
datang, kadang mungkin asisten bidan. Bisa dilihat dari wajahnya yang
masih imut-imut *apadeh, nggak penting :p Setiap kali doppler (alat
pendengar detak jantung bayi) ditempelkan ke perut, jantungku rasanya
ikut berdetak kencang. Apalagi kalau bidan susah menemukan detak
jantung si kecil, sehingga alat itu digeser-geser kesana kemari.
13.-- (jam 1 siang)
Aku semakin kesakitan. Tak tahan. Masya Allah, rasanya di perut bagian bawah teramat sakit. Kubilang ke suamiku,"Rasanya kayak mau mati" Entah apa gerangan yang mendorongku berkata seperti itu. Diantara rasa sakit aku sudah tidak peduli apa yang aku katakan, tidak peduli sekitar. Aku hanya fokus pada sakitku. Dia hanya menenangkan sambil memelukku.
Beberapa orang masuk ke ruangan. Entahlah, sepertinya Ibuku, Bapak mungkin, Bulik, dan entah siapa lagi. Mereka datang lalu pergi. Belakangan Ibu bilang kalau dia tidak tega melihatku. Katanya, wajahku sudah pucat pasi. Bibirku putih. Keringat dingin mengaliri wajahku.
Kami bertanya ke bidan yang datang dan pergi. Sudah bukaan berapa? Setelah dicek, baru bukaan 2 katanya. Masih berapa lama lagi? Masing-masing bukaan, butuh waktu 1 jam. Jadi, untuk sampai ke bukaan lengkap, normalnya butuh waktu 8 jam.
Aku meringis ke suamiku. Satu menit, dua menit, tiga menit. Kubilang, aku tak tahan lagi. Tolong, aku mau caesar saja. Dia memandang penuh harap,
"Normal aja ya?"
"Udah nggak tahaan.. Mau caesar ajaaa," kataku
"Kita coba normal ya?" dia masih berusaha meyakinkanku
"Enggak. Sakit banget..."
Suamiku tak tega melihatku. Akhirnya, dia pun menyerah
"Beneran caesar?"
"Iya.."Jawabku
"Kalau gitu Ayah bilang Ibu (Ibuku.red) dulu ya.."
"Jangan lama-lama Yah" kataku
*belakangan, Ibu cerita, saat memberitahu aku mau dicaesar, suamiku menahan tangis. Setelah diberitahu, ibu juga lemas rasanya. Beliau hanya sholat, berdoa, berdoa, dan mengaji di dalam kamar. Sepanjang siang itu, sampai bayiku lahir.
Suami kembali menemaniku di dalam kamar. Surat persetujuan untuk operasi disodorkan. Aku dan suamiku menandatanganinya. Tetapi kami masih harus menunggu lantaran dokternya sedang ada di tempat lain. Sementara itu, kamar operasi pun dibereskan.
"Dokternya masih lama mbak?" tanyaku tak sabar
"Udah dikasih tau, mungkin sekitar setengah jam lagi"
Berkali-kali sepertinya aku menanyakan hal yang sama: dokternya sudah ada? begitu berulang-ulang.
Beberapa saat kemudian, saat aku dan suamiku menunggu dokter, aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk mengejan. Tekanan di perut, rasa sakit memuncak, membuat keinginan untuk segera mengeluarkan si dedek semakin kencang.
"Mbaaaakkk..!!! Pengen ngedeeenn!!" teriakku.
"Jangan. Nggak boleh dulu mbak.."
"Tapi pengen ngeden mbaaak.."
"Coba dicek dulu ya, bukaannya"
Bidan pun mengecek bukaan.
"Waah, ini sudah bukaan 7 ke 8 nih!"
_to be continued_
13.-- (jam 1 siang)
Aku semakin kesakitan. Tak tahan. Masya Allah, rasanya di perut bagian bawah teramat sakit. Kubilang ke suamiku,"Rasanya kayak mau mati" Entah apa gerangan yang mendorongku berkata seperti itu. Diantara rasa sakit aku sudah tidak peduli apa yang aku katakan, tidak peduli sekitar. Aku hanya fokus pada sakitku. Dia hanya menenangkan sambil memelukku.
Beberapa orang masuk ke ruangan. Entahlah, sepertinya Ibuku, Bapak mungkin, Bulik, dan entah siapa lagi. Mereka datang lalu pergi. Belakangan Ibu bilang kalau dia tidak tega melihatku. Katanya, wajahku sudah pucat pasi. Bibirku putih. Keringat dingin mengaliri wajahku.
Kami bertanya ke bidan yang datang dan pergi. Sudah bukaan berapa? Setelah dicek, baru bukaan 2 katanya. Masih berapa lama lagi? Masing-masing bukaan, butuh waktu 1 jam. Jadi, untuk sampai ke bukaan lengkap, normalnya butuh waktu 8 jam.
Aku meringis ke suamiku. Satu menit, dua menit, tiga menit. Kubilang, aku tak tahan lagi. Tolong, aku mau caesar saja. Dia memandang penuh harap,
"Normal aja ya?"
"Udah nggak tahaan.. Mau caesar ajaaa," kataku
"Kita coba normal ya?" dia masih berusaha meyakinkanku
"Enggak. Sakit banget..."
Suamiku tak tega melihatku. Akhirnya, dia pun menyerah
"Beneran caesar?"
"Iya.."Jawabku
"Kalau gitu Ayah bilang Ibu (Ibuku.red) dulu ya.."
"Jangan lama-lama Yah" kataku
*belakangan, Ibu cerita, saat memberitahu aku mau dicaesar, suamiku menahan tangis. Setelah diberitahu, ibu juga lemas rasanya. Beliau hanya sholat, berdoa, berdoa, dan mengaji di dalam kamar. Sepanjang siang itu, sampai bayiku lahir.
Suami kembali menemaniku di dalam kamar. Surat persetujuan untuk operasi disodorkan. Aku dan suamiku menandatanganinya. Tetapi kami masih harus menunggu lantaran dokternya sedang ada di tempat lain. Sementara itu, kamar operasi pun dibereskan.
"Dokternya masih lama mbak?" tanyaku tak sabar
"Udah dikasih tau, mungkin sekitar setengah jam lagi"
Berkali-kali sepertinya aku menanyakan hal yang sama: dokternya sudah ada? begitu berulang-ulang.
Beberapa saat kemudian, saat aku dan suamiku menunggu dokter, aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk mengejan. Tekanan di perut, rasa sakit memuncak, membuat keinginan untuk segera mengeluarkan si dedek semakin kencang.
"Mbaaaakkk..!!! Pengen ngedeeenn!!" teriakku.
"Jangan. Nggak boleh dulu mbak.."
"Tapi pengen ngeden mbaaak.."
"Coba dicek dulu ya, bukaannya"
Bidan pun mengecek bukaan.
"Waah, ini sudah bukaan 7 ke 8 nih!"
_to be continued_
Dulu aku jg sempet kapok wkt abis melahirkan sakkkiiitttt...
BalasHapustrus, kalo sekarang gimana Teh? :)
Hapus