Rabu, 04 Januari 2012

(Crosspost) Minggu 30: Tensi Naik

Gambar diambil dari google
Bulan Desember. Sudah saatnya kembali cek ke dokter kandungan. Kunjungan kali ini sebenarnya agak terlambat, mengingat 2 minggu yang lalu sudah mendaftarkan diri untuk cek, tapi ternyata saya dan suami tidak bisa datang. Akhir pekan kemarin juga sudah mendaftarkan diri, tapi kali itu dokternya yang tidak bisa karena cuti.

Akhirnya, karena ingin secepatnya, saya pun memutuskan untuk kontrol kandungan Rabu malam. Satu-satunya jadwal ibu dokter bersangkutan selain hari Sabtu pagi, dimana kami biasa datang.

Berangkat dari kantor jam 7 malam. Waktu telepon 2 hari sebelumnya dapat nomor antrian 26. Dan oleh susternya diperkirakan bakal kena giliran sekitar jam setengah sembilan malam. Lapangan Banteng-Tambak sebenarnya tidak jauh. Tapi jalanan sepanjang Salemba samapai Matraman biasanya macet pada jam pulang kantor. Benar saja, sampai di sana sekitar setengah jam kemudian. Langsung menuju kedai ayam goreng di sebelahnya karena sudah kelaparan. Sekitar jam setengah delapan lebih baru masuk RSIA Tambak untuk ngantri.

Eh tapi, kok sepi yaa? Waah, bakal dapet giliran cepet nih. Padahal waktu ngambil antrian di meja depan masih ada setumpuk nomer lumayan banyak. Tapi ternyata sampai seluruh proses selesai malam tadi, saya jadi pasien paling akhir. Mungkin sebagian tidak datang. Maklum, hari kerja dan sudah malam.

Begitu duduk di kursi tunggu, tidak lama kemudian dipanggil untuk cek tekanan darah dan berat badan. Sapertinya saya satu-satunya pasien di ruangan itu. Mbak-mbak sebelumnya sudah naik ke ruangan atas.

Ditimbang berat badan, 59 kg. Naik 3,5 kilo dari berat badan sebelumnya, dan 11 kilo dari berat badan awal kehamilan. Dicek tensi, 130/90. “Hmm…. Kok agak tinggi ya? Ibu barusan banget dateng ya?” tanya perawat. ”Mungkin masih deg-degan. Kalau gitu, duduk dulu aja. Nanti 10 menit lagi ditensi lagi ya Bu.” Oke, duduk manis lagi di kursi. Nonton tv sambil menunggu suami yang janji mau datang secepatnya. Paass, banget kemarin hp ketinggalan. Jadi tidak bisa komunikasi sama sekali. Untung suami datang tidak lama kemudian.

Sekitar 15 menit kemudian, perawat memanggil lagi. Dicek lagi tekanan darah. Tetap. Tidak ada perubahan. ”Mm... mungkin nanti dikasih resep sama Ibu Dokter” kata si mbak sambil tersenyum. Okee, dari pengalaman membaca dimana-mana, tekanan darah yang tinggi pada ibu hamil bukan pertanda bagus. Tapi tetap saja dokter yang lebih tau, jadi saya hanya tersenyum berterima kasih, lantas naik ke lantai 2, ke ruangan ibu dokter.

Waktu datang, masih ada sepasang sejoli yang menunggu di ruang tamu. Di dalam masih ada pasien. Jadi kami bakal masuk setelah sepasang sejoli tadi, hihi.

Setelah menunggu sekitar setengah jam, kami akhirnya masuk ke ruangan ibu dokter cantik itu. Setelah memeriksa rekam medisnya, beliau berkomentar, ”Kok tensinya naik? Makan apa hayo?” Saya hanya senyum-senyum. Perasaan nggak habis ngapa-ngapain deh. Setelah itu, ibu Dok menjelaskan ini, itu, pre eklampsia, dan sebagainya. Dan dapatlah saya saran untuk mengurangi konsumsi garam, makanan manis, goreng-gorengan, makanan bersantan, serta menambah makan sayur dan buah-buahan. Eh tapi, baru tau lhoo, ternyata mangga tidak terlalu recommended, karena...emmh... mengandung kolesterol (?) *lupa-lupa ingat penjelasan ibu Dok. Untuk buah, sebaiknya jeruk atau kiwi.

Setelah itu dilihat lagi keluhan yang lain, yaituu mual muntah (lagi) di trimester terakhir ini (selagi menulis ini, barusan saya lari dari kamar mandi dan mengeluarkan semua makanan yang masuk dari pagi, yaiks!). Beliau bilang, mual muntah bisa saja terjadi karena tekanan, bisa juga dari maag. Jadi, beliau meresepkan obat maag untuk cek kali kemarin.

Setelah puas ngobrol-ngobrol, ibu Dok membimbing saya ke balik tirai. Ngapain??? Mau liat si dedek kecil. USG. Sembari beliau melihat kaki saya dan bilang kalau kaki saya baik-baik aja tuh. Tidak ada bengkak sama sekali.

Lalu setelah menyingsingkan baju, saya pun menunjukkan stretchmark yang mulai menghiasi perut bagian bawah saya. Dan dia pun hanya berpesan, beli saja cream anti SM. Ada banyak di apotek. Merknya terserah. Yang penting, harus rajin mengoleskannya. Setiap saat. Tidak hanya sesudah mandi saja. Saya hanya nyengir.

Saat di usg 2 dimensi itu, saya bilang kalau saya pengen usg 4 dimensi. Ehh, tidak taunya beliau malah bilang, ”Sekarang aja ya kalo gitu. Soalnya kalo udah tambah gede, nanti tambah susah liatnya. Tapi diukur dulu ya perkembangan dedeknya..” Waah, senaaanng. Akhirnya malam itu bisa lihat wajah jagoan kecil kami juga.

Perkembangan dedek di usia 30 minggu, beratnya mencapai 1,5 kg. Normal. Alhamdulillah. Organ-organ dalam bagus. Alhamdulillah. Setelah itu, dilihat grafik aliran plasentanya. Normal.

Eh looh, tapi? Kok sang suami nggak ikut lihat? Dia masih asik di balik tirai. Mungkin canggung karena biasanya Ibu Dok tidak memakai ruangan tersebut. Setelah dipanggil, baru dia masuk ke balik tirai dan ikut mengamati gambar di layar. Tapi saking asiknya, kami sampai lupa memfoto saat Ibu Dok memulai usg 4 dimensi. Dan tidak bilang juga kalau mau dicetak. Jadi hanya dapat CDnya saja, huhu...

Selesai semua aktivitas bareng ibu Dok, saya diminta sekalian cek urine di lab. Akhirnya turun ke bawah, buat ngambil sampel urin. Tapi karena antri toilet (entah ada orang di dalamnya atau tidak, hihi), kami jadi agak lama. Dan waktu hasil labnya keluar, ternyata ibu Dok sudah pulang. Ya sudahlah, besok waktu cek lagi dikonsultasikan lagi hasil labnya. Semoga tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Seharian ini, rasanya sudah memenuhi hari dengan pikiran negatif. Walaupun sudah berkali-kali mensugesti untuk take it easy, ternyata hal itu tidak mudah. Akibatnya, makanan yang masuk keluar lagi semua. Stress siihh.. Ayo semangat! Gimana mau nurunin tensi kalo stress masih berlanjut? Pasrahkan semuanya hanya kepada Allah.. Nothing to be worried. Okay? ;)


P.S:
dan untuk biaya total tadi malam, konsultasi dokter, USG 4 dimensi, 4 macam obat-obatan, dan cek lab, ternyata hanya habis Rp 733.000,00. Padahal sudah negatif thinking saja bakal lebih dari satu juta. Ternyata alasannya karena ibu Dok (tempat kami biasa cek itu) bukan spesialis yang biasa melakukan usg 4 dimensi. Jadi, biayanya lebih murah *urut dada karena lega. Mana dibilang plafon asuransi untuk melahirkan sudah Rp 0,00 pula. What?? Padahal baru sekali itu mau memakainya . Memang sengaja selama ini tidak pakai asuransi dengan pertimbangan asuransi itu akan dipakai pada saat lahiran nanti. Ternyata oh ternyata, pada waktu tes TORCH dulu, di sana tercatat sebagai pengeluaran untuk persalinan normal. Dan sepanjang tahun ini, saya dinyatakan sudah melakukan 2x persalinan normal: waktu kuretase di kehamilan pertama, dan tes TORCH di kehamilan kedua *tepok jidat. Untuk urusan yang satu ini, biar suami aja deh yang mengurus nanti. Semoga masih rejekinya dedek yaa :))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...