Senin, 10 Desember 2012

5 cm (sebuah resensi)


 
“…Biarkan keyakinan kamu, 5 centimeter menggantung mengambang di depan kening kamu. Dan…sehabis itu yang kamu perlu…cuma…”
“Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas”
“Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja...”
”Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya...”
”Serta mulut yang akan selalu berdoa...”

 [p.362]

Siapapun tau kutipan di atas berasal dari buku 5 cm, karya Donny Dhirgantoro. Buku ini sudah menarik mata saya sejak saya sering main ke Gramedia pada masa kuliah dulu, sekitar 4-5 tahun yang lalu. Covernya yang unik, hitam pekat minim aksesoris dan hanya bertuliskan 5 cm membuat mata saya tak henti melirik rak berisi novel ini. Tapi entahlah, ketertarikan itu justru membuat saya tak kuasa membawanya ke keranjang belanja. Hehehee… Sampai beberapa waktu lalu, saat saya ingin menumbuhkan minat baca saya yang krisis parah, iseng-iseng saya jalan di sekitaran terminal Senen, siapa tau saya bisa membawa pulang beberapa buku murah.  Awalnya pun sebenarnya saya tidak hendak mengambil 5 cm, tapi buku lain yang entah apa. Tapi begitu melihat 5 cm, saya segera tukarkan buku yang saya pegang dengannya, cuma karena merasa lebih familiar dengan  si 5 cm saja :p

Baiklah, cukup untuk prolognya.

Buku ini menceritakan persahabatan 5 orang anak muda. Arial, Riani, Zafran, Ian, Genta. Kelima anak muda ini sudah berteman sejak jaman SMA. Pertemanan yang benar-benar akrab dan intens. Pertemanan yang membuat mereka saling memahami satu sama lain. Pertemanan yang membuat mereka selalu melakukan semua hal bersama-sama. Hingga pada suatu hari, mereka sadar bahwa mereka harus mencoba keluar dari gua mereka, dan mencoba menjalani dunia luar. Masing-masing. Seorang diri.

Akhirnya diputuskan bahwa mereka akan berpisah sementara. Menjalani hidup tanpa teman-teman yang selalu membersamai mereka. No phone call, no sms, no email. Benar-benar hidup sendiri tanpa berhubungan satu sama lain selama 3 bulan. Setelah itu? Genta berjanji akan menghubungi mereka di akhir waktu 3 bulan untuk melaksanakan sebuah rencana.

Akhir waktu yang dijanjikan itu pun tiba. Arial, Riani, Zafran, dan Ian dihubungi oleh Genta yang mengajak mereka untuk meluangkan waktunya selama beberapa hari. Genta yang punya rencana bilang kalau mereka akan bertemu di stasiun Senen. Tak lupa seabrek perlengkapan dia sebutkan agar dibawa teman-temannya. Hari yang ditunggu pun tiba. Kelima sahabat yang telah berpisah selama 3 bulan lamanya ini pun bertemu perdana di stasiun. Dan ternyata Genta punya rencana besar. Sebuah perjalanan besar yang akan mengubah hidup mereka pun dimulai. Ya. Genta akan mengajak teman-temannya naik gunung. Mereka akan mendaki MAHAMERU, puncak tertinggi di tanah Jawa.

Mulai dari sini saya tidak akan bercerita bagaimana serunya perjalanan mereka. Naik kereta ekonomi Matarmaja (Malang-Blitar-Madiun-Jakarta), melewati daerah persawahan, hutan-hutan jati, stasiun-stasiun di sepanjang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ish, sungguh membuat saya rindu ingin pulang kampung. Mari kita simak beberapa penggambaran di sela perjalanan naik kereta mereka:

Di hari yang hampir malam itu langit membiru hitam, bulan terlalu cepat muncul. Di hamparan sawah yang mulai menghitam, Zafran melihat surau kecil, beberapa orang memakai sarung, peci, dan kemeja putih berjalan di antara pematang remang-remang menuju surau kecil itu. Lampu surau itu memberi cahaya seadanya, membuat surau terlihat bersinar sendirian di antara hamparan sawah yang mulai menggelap. Suara adzan maghrib pun terdengar sayup-sayup di telinga Zafran--
[p. 163] 

atau yang satu ini:

Di antara kabut pagi pedesaan yang masih enggan menarik selimut putihnya dari alam pagi, di antara para petani dan kerbaunya yang sedang berjalan pelan di pematang sawah berkabut pagi, ibu dengan caping lebar menaiki sepeda ontanya. Di jalan desa yang masih lengang, pabrik gula tua peninggalan Belanda dengan bangunannya yang bergaya Eropa dan tembok tua bertuliskan 1899, lori-lori kecil pengangkut tebu, pohon-pohon besar di jalan desa yang masih diselimuti kabut, kebun tebu yang seperti tembok hidup.
[p.178]

Sukses membuat saya ingin pulang kampung naik kereta T.T

Perjalanan yang tak kalah serunya tentu saja saat mendaki ke MAHAMERU. Saya seperti bisa melihat keindahan Ranu Pane dan Ranu Kumbolo, curamnya tanjakan cinta, mistisnya Kalimati, dan dinginnya Arcopodo. Sempat juga saya menitikkan air mata saat kelima sahabat berjuang mendaki bukit pasir, sesaat sebelum sampai di puncak MAHAMERU.

Awal saya membaca novel ini, jujur saya merasa terganggu dengan penggalan lirik-lirik lagu yang bertebaran di tiap halaman. Penulis novel ini, Donny Dhirgantoro agaknya merupakan seorang pecinta musik sejati, sehingga banyak lirik lagu yang dia selipkan di sini. Dia juga mengerti banyak ilmu filsafat—terlihat dari tokoh Zafran. Pengetahuannya jelas sangat luas, bisa dilihat dari dialog-dialog antartokoh tentang kehidupan. Selain dipenuhi oleh lirik lagu, novel ini juga dipenuhi oleh quotation dari orang-orang ternama. Salah satu yang menarik adalah ini:

Sebuah negara tidak pernah kekurangan seorang pemimpin apabila anak mudanya sering bertualang di hutan, gunung, dan lautan 
[Sir Henry Dunant, p.234]

Setelah bergulat dengan setengah bagian pertama novel yang sedikit membosankan, setengah sisanya membuat saya nyaris tak bisa melepaskannya. Penggambaran perjalanan kelima anak muda ini, WOW. Membuat saya juga ingin mendaki sendiri MAHAMERU dan melihat semua keajaibannya di depan mata.

Sayangnya, menurut saya, ending novel ini terlalu sempurna. Kurang greget. Dan too good to be true. Tetapi tenang saja, tidak mengganggu keseluruhan jalan cerita sebelumnya.

Novel ini mengajarkan kepada saya banyak nilai-nilai kehidupan. Tentang cinta dan persahabatan. Tentang mimpi dan cita-cita. Tentang alam dan lingkungan. Juga tentang cinta tanah air. Tentang betapa indah dan menakjubkannya Indonesia, bahwa masih ada orang-orang yang mencintai, bangga, dan menjaga tanah ibu, meski carut-marutnya bangsa ini.

Pada akhirnya saya memberikan 4 jempol untuk novel ini. And I cant wait to watch the movie! I have to watch the movie!


Judul : 5 cm
Penulis : Donny Dhirgantono
Penerbit : PT. Grasindo
Cetakan pertama : Mei 2005
Tebal : 381 halaman


6 komentar:

  1. kapan ya baca buku ini..
    lupa, udah lamaaaa bgt
    jaman masih unyu unyu dulu
    hahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. waduh, jadi malu nih hari gini baru baca buku ini
      ga tau kenapa selalu tertarik sama bukunya tapi ga tertarik buat baca
      pas di Senen juga awalnya ga mau beli yang ini

      Hapus
  2. Bener banget, aku baca novel ini kalo ga pas SMA pas kuliah, seru banget.. Eh ga berapa lama aku liat lagi buku ini di gunung agung dan gramed..hehehe tp males baca lagi.

    Penasaran Filmnya,.. Ajak suami nonton aahhh...hihihi ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. ayuk nontooonnn
      aku nyelesein semalem dan hari ini masih lagi anget2nya nih, lagi hot-hotnya gugling segala sesuatu ttg 5 cm XD

      Hapus
  3. gak sabar buat nonton mbak, ada junotnya, aku sukaa.. :D

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...