Mengisi kembali halaman kosong di blog yang mulai berdebu ini. Karena kesibukan baru menjadi new Mom, jadi belum sempat menulis-menulis lagi. Beberapa tulisan ke depan sudah diposting di multiply, hanya copy-paste saja ke blogspot.
Catatan ini
dibuat untuk mengenang proses kelahiran Raihan. Sebagai pengingat
perjuangan hari itu, saat aku mengantarkan jagoan kecilku melihat
dunia. Semoga, suatu hari nanti, Raihan juga bisa membacanya, sehingga
dia tau bagaimana perjuangan ayah bunda dan cinta kami kepadanya. Happy
reading :)
Kamis, 23 Februari 2011
Suami berangkat dari Jakarta. Pulang ke Purbalingga setelah 2 minggu
sebelumnya mengantarku pulang kampung menjalani masa cuti. Sebenarnya
rencana awal mau berangkat Jumat malam, tapi keburu kehabisan tiket
kereta. Jadi dia mengambil cuti sehari di hari Jumat dan meluncur ke
stasiun Kamis malam sepulang dari kantor.
Jumat, 24 Februari 2011
Sekitar jam 3 dinihari, suami sampai di rumah. Setelah itu, dia
beristirahat sampai pagi. Pagi sampai siang hari, kami tidak
kemana-mana. Padahal biasanya, setiap pulang kampung kami pantang
melewatkan waktu berdiam di rumah. Sayang sekali.
16.30
Aku dan suami baru keluar jalan-jalan. Sebentar saja, hanya putar-putar
kota dan membeli mi ayam. Sebelum maghrib, kami sudah sampai kembali di
rumah. Sore itu sebenarnya kami juga berencana untuk membeli keperluan
dedek yang belum lengkap, seperti bak mandi bayi, alas ompol yang
dirasa masih kurang, dll. Tapi karena berangkat terlalu sore, kami
berencana untuk berbelanja keesokan harinya saja.
Setelah makan mi ayam, aku merasa tidak enak perut. Sendawa terus
menerus rasa mi ayam. Yaiks!! Pengen muntah. Sepanjang sore itu aku
terus bilang kalau aku keracunan mi ayam, heheh
Menjelang malam, setelah berbincang-bincang lumayan lama dengan bapak,
ibu, om (yang kadang2 suka nginep di rumah sepulang kerja), aku dan
suami pun beranjak tidur.
Sabtu, 25 Februari 2012
00.30
Dini hari itu aku terbangun. Kebelet pipis. Tapi malas beranjak dari
tempat tidur. Masih dalam posisi tiduran, kuputuskan untuk menahan
pipis saja, biar besok pagi saja. Tapi tiba-tiba aku seperti merasa ada
yang keluar. Yaahh, ga bisa ditunda lagi pipisnya. Akupun beranjak ke
kamar mandi.
Selesai pipis, saat hendak ke ruang tengah, aku merasa ada cairan yang
keluar lagi. Kupikir, pipisnya belum tuntas. Akupun kembali ke kamar
mandi. Tapi di sana, aku terkejut saat mendapati ternyata cairan itu
keluar dengan sendirinya. Mengalir lumayan banyak. Pecah ketuban!
Sambil menenangkan diri aku mengetuk-ngetuk pintu kamar ibu. Saat ibu
akhirnya membuka pintu, kubilang kalau ketuban sudah pecah. Saatnya ke
rumah sakit. Sementara itu, cairan putih bening itu masih mengalir
membasahi lantai keramik di bawah. Aku segera ke kamar, membangunkan
suami yang segera bangkit dengan kaget. Setelah itu, aku ganti pakaian,
sementara cairan itu masih terus mengalir.
Saat itu kami belum mempersiapkan apapun. Kupikir, masih lama perkiraan
lahir si dedek, jadi kami belum perlu mempersiapkan keperluan untuk
dibawa ke rumah sakit sewaktu-waktu. Ibu malam itu yang menyiapkan
segala sesuatunya. Menyiapkan beberapa potong bajuku, baju, popok,
perlak, dll bakal keperluan si kecil yang sudah dicuci dan tertata rapi
di lemari. Suami memasukkan beberapa potong bajunya ke dalam tas
gendongnya. Tak lama kemudian, aku, ibu, dan suami pun segera meluncur
ke rumah sakit. Bapak tinggal di rumah. Sementara Om masih tidur. Tidak
tahu sama sekali kalau kami keluar.
01.00
Kami sampai di RSIA yang sudah ditetapkan menjadi bakal calon tempat
bersalin. Setelah diperiksa bidan segala macam, diputuskan bahwa aku
harus menginap. Ketuban sudah merembes, pembukaan masih pembukaan satu
tapi sempit, jadi akan dilihat perkembangan sampai keesokan harinya.
Dini hari itu, aku diinfus antibiotik untuk menjaga agar ketuban tetap
baik-baik saja sampai waktunya nanti diambil tindakan.
09.00
Aku dibawa ke ruang bersalin. Akan segera diambil tindakan pagi itu.
Induksi. Saat itu, aku masih tenang, tidak terpikir apa-apa mengenai
persalinan. kontraksipun tidak ada. Dalam pikiranku hanya satu,
akhirnya, saatnya akan tiba juga. Saat aku akan bertemu dengan buah
hati yang selama sembilan bulan menghuni rahimku.
Sementara itu, sebelumnya Ibu sudah dijemput Bapak selepas subuh.
Mereka masih harus ngajar. Jadi saat aku dibawa ke ruang bersalin,
hanya suami saja yang menemani.
Melalui selang infus, cairan induksi itu masuk sedikit demi sedikit ke
dalam tubuh. Aku dan suami berbincang-bincang terus. Belum ada rasa
apa-apa. Bidan berpesan, kalau kebelet pipis atau apapun, panggil saja
mereka. Nanti saya akan diajari pipis di pispot. Pipis di pispot??
Oohh, tidak! Kedengarannya menjijikkan. Tapi akhirnya aku pipis juga
beberapa kali di ruangan itu. Bahkan, sampai di akhir-akhir, tidak
hanya pipis, pup juga keluar, hiiyy. Ah, saat itu sudah tidak
terpikirkan lagi apa yang keluar dari tubuh. Hehe
Menjelang siang, aku mulai merasakan nyeri, tekanan, rasa sakit di
perut bagian bawah. Awalnya biasa saja, tapi semakin lama semakin
tekanan itu semakin kencang, semakin sakit, semakin sering, dan semakin
lama bertahan. Dari yang awalnya kalimat-kalimat yang keluar adalah:
Subhanallah, Masya Allah, Astaghfirullah, Allahu Akbar. Dari yang
sebelumnya aku bisa membaca doa "Laa ilaaha illa anta, subhanaka inni
kuntu minadz dzolimiin" (doa nabi Yunus saat di perut paus). Sampai
akhirnya hanya bisa merintih-rintih, bahkan akhirnya berteriak-teriak.
Sungguh sebenarnya aku tidak ingin berteriak-teriak. Sejak awal
mempersiapkan diri menghadapi persalinan, aku sudah bertekad tidak
berteriak-teriak. Tapi ah, rasa sakit itu semakin menyiksa. Tiada
henti. Semua teori tentang teknik pernapasan untuk mengurangi nyeri
menguap entah kemana.
Suami di samping terus memberi semangat dan dorongan. Dia nyaris tidak
beranjak dari tempat itu. Dia yang memeluk, menguatkan, mencium,
menenangkan. Sebaliknya, setiap dipeluk, aku balik memeluknya dg sangat
kencang. Tanpa sadar mencakari punggungnya. Selesai persalinan, dia
menujukkan punggungnya, dan ya ampun, disana ada bekas cakaran. Seperti
orang kerokan!
_to be continued_