Gambar diambil dari google |
Kapan pertama kali saya menginjakkan kaki di ibukota negara kita tercinta, Jakarta? Sepertinya waktu SD, saat saya ikut rombongan sekolah Ibu study tour ke Taman Mini dan Ancol. Selebihnya? Tidak ada. Pun, tidak pernah sama sekali saya ingin hidup di kota metropolitan ini. Sampai pada suatu hari, waktu itu saya sedang menanti pengumuman seleksi masuk Perguruan Tinggi Kedinasan yang terletak di ibukota, Ibu saya bilang sepertinya dia punya firasat bahwa saya akan pergi ke Jakarta. Meninggalkan Jogja dan kampus yang baru beberapa hari saya masuki.
Dan benarlah, pertengahan menjelang akhir 2006, pengumuman itu pun keluar, saya diterima di kampus para calon PNS itu. Jakarta, i'm coming.
Sebenarnya, pada masa-masa kuliah selama 3 tahun di pinggiran Jakarta itu, semuanya berjalan dengan menyenangkan dan baik-baik saja. Gambaran kota Jakarta yang keras melebihi ibu tiri, tidak pernah saya rasakan. Mungkin karena keseharian saya yang hanya berkutat di kampus dan daerah kos-kosan. Jarang keluar jauh dari lingkungan itu, kecuali hanya sesekali.
Gambaran mengenai Jakarta semakin jelas terasa saat saya dan teman-teman harus menjalani praktek kerja lapangan. Setiap hari selama satu bulan, kami harus membelah macetnya jalanan ibukota, dari kos di pinggiran Jakarta, menuju kantor di pusat kota. Mulailah terasa, bagaimana perjuangan yang dilakukan kebanyakan warga DKI
Fuuhhh... sepertinya intro tulisan ini terlalu panjang.
Pada akhirnya,setelah lulus dari PTK tersebut, saya pun mulai bekerja. Di Jakarta. Masih lebih baik jika dibandingkan teman-teman yang harus keluar pulau, pikir saya.
2 tahun berlalu tanpa terasa. 2 tahun, saya resmi menjadi pekerja kantoran di Jakarta. Dan setiap hari, saya harus berkutat dengan keseharian Jakarta yang keras. Meskipun saya rasa, tidak begitu keras dibandingkan dengan mereka yang hidup di pinggiran Jakarta. Ya, selama 2 tahun ini saya masih hidup di tengah ibukota. Di antara kemacetan, gedung-gedung tinggi, dan pemukiman kumuh. Belum akan beranjak, sampai saya menemukan tempat tinggal sediri. Mungkin saat itulah saya baru akan menepi ke pinggiran.
2 tahun berlalu tanpa terasa. 2 tahun, saya resmi menjadi pekerja kantoran di Jakarta. Dan setiap hari, saya harus berkutat dengan keseharian Jakarta yang keras. Meskipun saya rasa, tidak begitu keras dibandingkan dengan mereka yang hidup di pinggiran Jakarta. Ya, selama 2 tahun ini saya masih hidup di tengah ibukota. Di antara kemacetan, gedung-gedung tinggi, dan pemukiman kumuh. Belum akan beranjak, sampai saya menemukan tempat tinggal sediri. Mungkin saat itulah saya baru akan menepi ke pinggiran.
Gambar diambil dari google |
Belum lagi bila hujan turun. Selain dibayang-bayangi kemacetan yang semakin parah, warga juga dibayang-bayangi ketakutan akan datangnya banjir. Dan setiap musim penghujan tiba, setiap itu pula proyek perbaikan gorong-gorong dimulai. Mengapa jalanan ibukota selalu macet, bahkan kemacetannya makin tahun makin bertambah? Tentu saja karena penambahan jumlah kendaraan di jalan raya, yang tidak diimbangi dengan penambahan volume jalan. Solusi? Banyak orang bilang, sediakan alat transportasi massal, agar orang beralih dari mobil pribadi ke angkutan umum.
Tapii, lagi-lagi, bagaimana orang seperti saya akan nyaman memakai angkutan umum kalauu:
- para sopirnya ugalan-ugalan
Naik metromini, kopaja, mikrolet rasanya sama saja dimana-mana. Sopir mengemudikan kendaraan seenaknya. Tidak jarang mereka ngebut di tengah padatnya lalu lintas. Seringkali malah balapan, saling susul menyusul satu sama lain. Menyerobot jalur orang. Kalau ada yang menghalangi jalan, dimaki-maki oleh sang sopir, tapi sendirinya sering menyebabkan kemacetan di perempatan-perempatan, tanpa mempedulikan arus lalu lintas di belakangnya. Kalau ada kesempatan, mereka akan menyerobot masuk ke jalur busway. Kalau ada penumpang? Turunkan saja di tengah jalan :(
- sering terjadi tindak kejahatan di angkutan umum
Saat ada bis transjakarta, warga menyambutnya dengan gembira dan antusias. Akhirnya, ada juga angkutan massal yang nyaman. Tapi, belakangan sering bermunculan kasus yang melibatkan bis transjakarta. Di antaranya adalah, kasus-kasus pelecehan seksual yang sering terjadi di tengah kepadatan penumpang. Walaupun bukan penggunanya, tapi setiap hari saya melihat orang-orang yang berjubel di dalam bis ini,saat pagi dan sore hari. Mereka berdiri berhimpitan satu sama lain, nyaris tidak bisa bergerak. Pantas saja sering dijadikan kesempatan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Selain kejahatan di bis trans ini, kita juga sering mendengar tindak kejahatan di angkutan umum lain. Seperti kemarin sore, ada berita tragis. Lagi-lagi, ini untuk yang kesekian kali, terjadi tindak pemerkosaan di dalam angkutan kota. Sepertinya emosi saya langsung naik begitu membaca berita itu. Orang macam apa yang tega melakukan tindakan keji seperti itu?? Seberapa sakitkah masyarakat kota ini? Hingga tindak kejahatan yang sama terjadi berulang-ulang? :(
- sistem yang tidak praktis dan membingungkan
Kalau yang satu ini, saya sedang membicarakan tentang kereta api.Setelah sempat heboh dengan commuter line yang menambah panjang waktu tempuh perjalanan, PT KAI sedang berbenah kembali dengan menerapkan sistem barunya, loopline. Untuk lebih detailnya, silakan gugling sendiri mengenai cara kerja sistem ini. Banyak orang mengeluhkan, waktu tempuh mereka menjadi lebih lama. Selain ditambah transit di setiap stasiun, mereka juga harus tangkas berpindah dari satu kereta ke kereta lain bila ingin sampai di tujuan. Karena jalur yang dilewati tidak lagi sama dengan jalur sebelumnya. Tujuan dari diterapkannya sistem ini adalah untuk menambah jadwal keberangkatan kereta, sehingga semaikn banyak penumpang yang terangkut. Dalam waktu dekat ini, memang belum terlihat hasilnya. Tapi saya sangat berharap, semuanya sudah lancar dan saat saya akhirnya menggunakan moda transportasi ini nantinya (artinya, kalau saya sudah pindah ke pinggiran Jakarta :D)
Maka, jangan salahkan saya, kalau saya bercita-cita punya kendaraan pribadi bila nanti saya mampu untuk membelinya. Toh, naik kendaraan pribadi, ataupun kendaraan umum, sama saja capeknya. Untuk sementara waktu, sampai ada angkutan massal yang benar-benar nyaman, saya belum akan berubah pikiran.
Tulisan ini sepertinya sudah sangat panjang. Maafkaaaann... ceritanya lagi curhat.
Setelah berkali-kali meyakinkan diri bahwa saya harus mencintai Jakarta, kali ini saya ingin menumpahkan perasaan saja. Seorang kawan pernah menulis status di bb-nya: ratakan Jakarta, lalu bangun kembali (Mbaak, kalau kamu membaca tulisan ini, kasih tau aku yaa, hihi). Sepertinya saya setuju juga dengan kata-katanya. Saking bingungnya, harus memulai darimana perbaikan yang dimaksud. Kemacetan, banjir, tindak kejahatan, pemukiman kumuh, sampah, dst.
Ah, Jakarta oh Jakarta..
Bagaimanapun, ada satu sudut yang menjadi tambatan hati saya di Jakarta. Mungkin, satu-satunya tempat yang memberikan kedamaian. Tempat saya berbagi cinta dan pengharapan. Tempat itu, rumah :)
- sistem yang tidak praktis dan membingungkan
Kalau yang satu ini, saya sedang membicarakan tentang kereta api.Setelah sempat heboh dengan commuter line yang menambah panjang waktu tempuh perjalanan, PT KAI sedang berbenah kembali dengan menerapkan sistem barunya, loopline. Untuk lebih detailnya, silakan gugling sendiri mengenai cara kerja sistem ini. Banyak orang mengeluhkan, waktu tempuh mereka menjadi lebih lama. Selain ditambah transit di setiap stasiun, mereka juga harus tangkas berpindah dari satu kereta ke kereta lain bila ingin sampai di tujuan. Karena jalur yang dilewati tidak lagi sama dengan jalur sebelumnya. Tujuan dari diterapkannya sistem ini adalah untuk menambah jadwal keberangkatan kereta, sehingga semaikn banyak penumpang yang terangkut. Dalam waktu dekat ini, memang belum terlihat hasilnya. Tapi saya sangat berharap, semuanya sudah lancar dan saat saya akhirnya menggunakan moda transportasi ini nantinya (artinya, kalau saya sudah pindah ke pinggiran Jakarta :D)
Maka, jangan salahkan saya, kalau saya bercita-cita punya kendaraan pribadi bila nanti saya mampu untuk membelinya. Toh, naik kendaraan pribadi, ataupun kendaraan umum, sama saja capeknya. Untuk sementara waktu, sampai ada angkutan massal yang benar-benar nyaman, saya belum akan berubah pikiran.
Tulisan ini sepertinya sudah sangat panjang. Maafkaaaann... ceritanya lagi curhat.
Gambar diambil dari sini |
Ah, Jakarta oh Jakarta..
Bagaimanapun, ada satu sudut yang menjadi tambatan hati saya di Jakarta. Mungkin, satu-satunya tempat yang memberikan kedamaian. Tempat saya berbagi cinta dan pengharapan. Tempat itu, rumah :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar