Hal pertama yang sangat ingin saya lakukan di kantor pagi ini adalah menulis. Oleh karena itu, setiba di meja, dan setelah menyelesaikan sisa pekerjaan kemarin sore-sementara orang-orang baru mulai berdatangan ke kantor-saya segera duduk manis di depan komputer.
Berawal dari pertanyaan suami tadi malam: “Kita, sampai kapan ya tinggal di Jakarta?”
Saya hanya menoleh dan menampilkan wajah ingin tau. Dia kembali berbicara,” Kamu nggak bisa pindah ya?”
“Bisa. Tapi, nggak tau deh,” kata saya penuh ketidakyakinan. “Mungkin, sepuluh tahun lagi?” saya berkata lagi sambil menoleh ke arahnya.
“Bosen. Jakarta macet banget,” katanya sambil menghembuskan napas. Dan perbincangan kami mengenai Jakarta pun berakhir.
Ternyata, tadi pagi sebelum berangkat ke kantor, suami saya melanjutkan pembicaraan mengenai hal itu lagi.
“ Kemarin itu, dapat tawaran buat pindah ke Semarang,” katanya.
“ Oooh… terus?” tanya saya.
“ Sebenernya, kalau di swasta, tawaran pindah ke daerah itu kesempatan emas.”
Suami saya memang bukan PNS. Dia pegawai salah satu bank swasta dan bekerja di kantor pusat.
“ Itu kesempatan untuk masuk ke level manajerial.”
Dulu, sebelum menikah, suami saya pernah mendapat tawaran untuk pindah ke Bogor. Tapi dia menolaknya karena rencana pernikahan itu. Dan kemarin, dia mendapat tawaran lagi. Pindah ke Semarang. Saya hanya diam. Sungguhpun, saya tidak berniat menghalang-halangi kalau dia ingin mengejar karirnya.
“ Tapi ini yang terbaik dari Allah ya?” katanya. “Lagian, aku kan masih kuliah. Sayang, masak ditinggal begitu aja. Trus, kalau kamu nanti ditinggal, bisa-bisa nangis terus.” Saya hanya memonyongkan bibir.
“ Mungkin, nanti bisa dipertimbangkan lagi ya, kalau udah selesai kuliahnya?” katanya lagi.
“ Iya,” jawab saya sambil tersenyum.
Suami saya, insya Allah, kalau lancar dan tidak ada halangan, lulus pertengahan tahun depan. Mau tidak mau, saya berpikir. Andai dia memang berniat pindah, lantas apa yang akan saya lakukan?
Pertama, saya bisa keluar (???) dari PNS-yang mungkin baru saja saya dapatkan SKnya pada saat itu-dan mengikutinya pindah. Mungkin saya bisa melanjutkan kuliah saya sementara dia bekerja. Lalu setelah lulus, saya bisa melamar pekerjaan lagi di suatu tempat entah dimana. Tapi, hei? Tidakkah saya sayang? Saya keluar dari pekerjaan ini begitu saja, sementara beribu-ribu orang berlomba-lomba mendapatkan apa yang saya dapat sekarang?
Atau, yang kedua, saya tetap tinggal di Jakarta, sementara suami tinggal di daerah. Long Distance Marriage?? Saya miris membayangkannya. Ditinggal pergi ke Jogja (mulai hari ini) selama lima hari saja membuat saya hampir mewek tadi pagi (lebay yah??). Apalagi hubungan jarak jauh?
Opsi yang ketiga adalah pindah instansi. Dan ini yang paling menenangkan di antara semua pilihan sebelumnya. Tapi, bisakah? Dan kalaupun bisa, tidakkah memakan waktu yang lama dengan prosedur yang berbelit-belit??
Dan entah kenapa, walaupun itu hanya perbincangan sekilas sebelum memulai aktivitas, saya terus-menerus memikirkannya. Bagaimana kalau benar-benar pindah? Pasti akan jadi hal yang sangat mengharukan kalau tiba saatnya saya berpisah dengan teman-teman kantor. Ah, saya benci perpisahan. Apalagi saya mulai mencintai tempat ini.
Setidaknya, saya masih punya cukup waktu untuk memikirkannya lagi. Dan semoga, kalau saat itu benar-benar datang, saya bisa memberikan keputusan terbaik.