Aku melihat pemandangan dari dalam bus yang terus melaju.
Sudah lima jam sejak bus ini meninggalkan Tokyo, menuju Shirakawa-go.
Sebaris cahaya muncul ketika bus keluar
dari terowongan. Perjalanan ini
mulai melewati terowongan. Ini artinya aku sudah dekat. Berdasarkan buku
panduan yang kubaca, perjalanan ke Shirakawa-go memang akan melewati banyak
terowongan. Ini karena akses jalan menuju ke sana dibuat dengan cara membobol pegunungan. Ya,
Shirakawa-go adalah desa yang terletak di antara pegunungan.
Kueratkan syal
yang melingkar di leherku. Dingin. Lebih dingin dari yang kukira. Tubuhku
belum cukup beradaptasi dengan salju rupanya. Wajar saja, baru dua hari yang
lalu aku sampai di Tokyo.
Baru dua hari yang lalu aku
menyentuh salju pertamaku. Aku merutuki kenekatakanku ini. Kalau bukan
gara-gara laki-laki itu aku pasti tidak akan pernah menginjakkan kaki di
Jepang.
Aku mendesah.
Sebentar lagi aku akan bertemu dengan laki-laki itu. Laki-laki yang selama ini
hanya hadir di mimpiku. Laki-laki yang telah menyita seluruh kebahagiaan dari
wajah ibu.
Desa Ogimachi,
Shirakawa-go.
Aku menjatuhkan
ransel di depan sebuah penginapan bergaya tradisional. Penginapan ini sudah
kubooking dengan bantuan petugas hotel di Tokyo
kemarin lusa. Kupastikan aku tidak salah tempat. Kucocokkan ulang huruf yang
dituliskan petugas hotel di atas kertas kemarin dengan papan nama di depan
bangunan itu.
“Irasshaimasee!!” Seorang gadis muda menyambutku saat aku
masuk ke dalam tempat itu. Aku gugup.
”Haii.. Eh.. Watashi
wa, Dian from Indonesia. I… have
booked a room..” Aku ragu gadis itu mengerti yang kumaksud.
“Ohh.. Please welcome!
Sudah pesan kamar? Baiklah. Tunggu sebentar,” dia tersenyum manis. Aku lega. Ternyata dia bisa berbahasa Inggris. Ada
yang bisa dimintai tolong di sini.
***
“Jadi Dian-san,
datang kesini karena ingin mencari laki-laki itu?”
Sore hari
berikutnya. Aku sedang mengobrol dengan Yuki, putri pemilik penginapan yang
baru kuketahui namanya tadi pagi ketika akan sarapan.
Aku mengangguk.
”Kenapa Dian mau
mencarinya? Bukankah dia sudah jahat pada keluarga kalian?” dia berkata pelan.
”Aku hanya ingin
melihat langsung ayahku, Yuki-chan. Bagaimanapun, karena dialah aku dan adikku
bisa melihat dunia,” aku tersenyum getir.
”Hmm...
Boleh..aku tau nama ayahmu? Biar aku bantu cari..”
Kuambil secarik foto usang dari dalam dompetku. Gambar ayah dan ibuku. Tampak sekali
perbedaannya. Ayah, bermata sipit berkulit putih. Sedangkan ibu berkulit sawo
matang bermata besar.
”Namanya ada di
balik foto itu. Ditulis dalam huruf Jepang, tapi aku sudah hapal di luar
kepala.”
Yuki terperanjat melihat
foto itu, lalu segera menyeret tanganku masuk ke dalam penginapan. Melewati
koridor utama, lalu berbelok di salah satu sudut. Dia membuka pintu dan menyuruhku
masuk.
Mataku segera tertumbuk pada sebuah foto berpigura yang
dipasang di dinding. Wajahnya tampak
lebih tua, tapi aku yakin orang itu adalah orang yang sama dengan orang di foto
ayah dan ibu.
“Dian-san mencari
dia?” Yuki terisak. ”Laki-laki ini yang dicari kan?”
Aku tertegun.
”Dia baru saja
meninggal seminggu yang lalu. Otousan
baru saja meninggal seminggu yang lalu” Gadis itu kini benar-benar menangis.
Aku terjatuh di
depan pigura itu.
***
474 kata
keterangan:
Irasshaimase : selamat datang
Watashi
wa, Dian from Indonesia. I have
booked a room: Saya Dian, dari Indonesia. Saya sudah pesan kamar
Otousan: ayah